Mahkum
‘Alaih dan Permasalahannya
Tugas ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqh
Dosen
Pembimbing Drs.H.Abdul Wahab Ahmad Khalil
Disusun
Oleh :
Putri Ragil Mei Ria (931320115)
Ika Mualimatul K (931322715)
Fatihatul Ulfa (931321015)
Kelas G
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN
SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2016
DAFTAR ISI
Halaman Judul...................................................................... i
Daftar Isi................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.... Latar Belakang............................................. 1
B.... Rumusan Masalah........................................ 2
C.... Tujuan Penulisan......................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Mahkum
‘Alaih............................................ 3
B.
Taklif............................................................ 3
C.
Taklif
terhadap Orang Kafir........................ 6
D.
Ahliyyah....................................................... 9
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................. 15
B.
Saran............................................................. 15
Daftar Pustaka....................................................................... 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada dasarnya Ushul Fiqih
merupakan kata ganda, yakni rangkaian kata ushul dan fiqih. Secara istilah,
ushul bermakna dalil. Sedangkan al-fiqih adalah pengetahuan tentang hukum islam
yang berkaitan dengan hukum manusia, yang digali dari dalil-dalil terperinci
(tafshili). Ketika dua kata tersebut dikombinasikan, maka akan bermakna
dalil-dalil pengetahuan hukum islam.
Hukum adalah firman Allah yang
berkenaan dengan perilaku mukallaf dalam konteks tuntutan atau pemberian hak
opsional (takhyir), atau berkenaan dengan sesuatu yang lebih luas dalam konteks
peletakan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’, shahih dan fasid. Oleh karena
itu, iman Allah yang berkenaan dengan fisik manusia, seperti ayat proses
penciptaan, atau yang berkenaan dengan perilaku mukallaf, namun bukan dalam
konteks tuntutan atau pemberian hak opsional.
Dalam penbahasan ilmu Ushul Fiqih,
sering dibicarakan masalah mahkum ‘alaih. Dalam pembahasan kali ini, kami akan
menguraikan sedikit tentang mahkum ‘alaih dan pembahasannya.
Dalam pembahasannya, mahkum alaih
diartikan sebagai orang yang dibebani hukum. Dalam hal ini, orang yang di
bebani hukum adalah orang mukallaf, yakni seorang yang sudah aqil baligh, sehat
rohani, orang yang mamiliki kesadaran rohani dan sudah sampai dakwah syariat
islam kepadanya. Dengan demikian, orang gila, orang kafir, orang tidur, orang
pikun dan orang yang belum tahu tentang syariat tidak terbebani hukum syara’.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang di maksud dengan Mahkum Alaih ?
2.
Apa itu Taklif dan apa saja syaratnya ?
3.
Bagaimana Taklif terhadap orang kafir ?
4.
Apa yang dimaksud dengan Ahliyah dan bagaimana
pembagiannya ?
C.Tujuan
Pembahasan
1.
Memahami tentang apa itu Mahkum Alaih.
2.
Mengetahui tentang Taklif dan syarat-syaratnya.
3.
Mengetahui Taklif terhadap orang kafir.
4.
Memahami tentang apa itu Ahliyah dan pembagiannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Mahkum ‘Alaih
Ulama’
Ushul Fiqih telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari
segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum,
sedangkan dalam istilah Ushul Fiqih, mukallaf disebut juga mahkum
‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan
diminta pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.[1]
B.
Taklif
Taklif
adalah sebuah tuntutan untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang terdapat
musaqqah di dalamnya. Meskipun demikian, perbuatan tersebut tidak akan keluar
dari batas kemampuan manusia atau mustahil di wujudkan. Allah berfirman :
لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّوُسْعَهَا (البقرة : ٢٨٦)
“Allah
tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah
: 286).[2]
Dalam
islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk
mengerjakan tindakan hukum. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani
hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan
kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa
memahami taklif dari syar’i (Allah dan rosulnya). Termasuk dalam golongan ini,
adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak
sadar (hilang akal). Seperti sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّا ئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَ عَنِ اْلمَجْنُوْ نِ حَتَّى يَفِيْقَ.
(رواه البخارى والترمدى والنسائ وابن الماجه والدارقطنى عن عائشه وابى طالب)
“Diangkatlah
pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai balig, dan orang gila sampai ia sembuh.”(HR. Bukhari, Tirmidi, Nasai, Ibnu Majah, dan Daru Quthni dari
Aisyah dan Ali Ibnu Abi Thalib) [3]
Disamping
mukallaf harus memiliki kemampuan untuk memahami taklif, mukallaf juga
harus memiliki kemampuan atas taklif yang dibebankan kepadanya. Artinya
memiliki kemampuan untuk menjalankan atau meninggalkan taklif tersebut. Oleh
sebab itu, mulja’ , yaitu orang yang tidak mempunyai pilihan untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu yang akan dialaminya, tidak terbebani
taklif. Seperti orang yang jatuh dari atas gedung dan akan menimpa orang yang
ada dibawahnya. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak mungkin terbebani
taklif, baik berupa tuntutan untuk tidak jatuh, maupun jatuh tidak menimpa
orang dibawahnya, karena kedua hal tersebut sudah diluar kemampuannya.
Beda
halnya dengan mukrah, yaitu orang yang tidak memiliki pilihan untuk
menghindari sesuatu yang dipaksakan kepadanya, kecuali bersabar menerima
ancaman. Dalam kondisi seperti ini, seseorang masih mungkin terbebani taklif.
Hal ini disebabkan mukallaf masih memiliki kemampuan untuk menjalankan
atau meninggalkan taklif yang dibebankan kepadanya.[4]
Ada
dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mukallaf bisa dikenai
taklif, yaitu :
1.
Ia memahami
atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan
dari Allah.[5]
Ia juga mampu memahami Khithab Syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.[6] Paham
dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk
mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
اَلدِّ يْنُ هُوَ العَقْلُ لاَ دِ يْنَ لِمَنْ لاَعَقْلَ لَهُ
“Agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang
yang tidak berakal.”[7]
Sehingga
syarat yang pertama adalah berakal. Akan
tetapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit di
ukur, dan dipastikan berbeda antara satu orang dengan yang lain. Maka syara’
menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkret (jelas) dalam
menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah
balighnya seseorang. Namun dalam syarat ini bukan tidak terdapat permasalahan,
karena dalam beberapa hal seperti anak kecil dan orang gila pun dikenakan
beberapa kewajiban, seperti membayar zakat dari hartanya. Untuk menghindari
adanya kesalahpahaman, Imam Al-Ghazali, Al-Amidi, dan Imam Asy-Syaukani
menjelaskan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar
zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah, nafkah diri mereka dan ganti rugi (dhaman)
akibat perbuatan mereka bila merusak atau menghilangkan harta orang lain. Untuk
itu, diambil dari harta mereka sendiri. Akan tetapi, kewajiban tersebut tidak
berkaitan dengan perbuatan anak kecil dan orang gila tersebut, tetapi berkaitan
dengan harta. Oleh karena itu, dalam kasus tersebut yang bertindak membayarkan
kewajiban zakat pada mereka, mengambilkan nafkah untuk diri mereka dan ganti
rugi yang disebabkan kelalaian mereka adalah wali mereka masing-masing.
2.
Seseorang harus
mampu bertindak hukum, dalam Ushul Fiqh disebut ahliyyah. Dengan
demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum,
belum atau tidak bisa di pertanggung jawabkan. Maka anak kecil yang belum
balig, yang dianggap belum mampu bertindak hukum, tidak di kenakan tuntutan syara’.[8]
C.Taklif terhadap Orang Kafir
Sebagaimana
telah dijelaskan, bahwa syarat bagi mukallaf itu adalah baligh dan
berakal. Selanjutnya dipermasalahkan apakah “Islam” merupakan syarat untuk
dikenai tuntutan hukum. Dengan kata lain
apakah non muslim dengan kekafirannya itu dituntut untuk melakukan beban
hukum atau tidak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.
Perbedaan
pendapat itu sebenarnya bersumber dari perbedaan pendapat dalam hal hubungan
persyaratan taklif dengan terpenuhinya syarat syar’i.
Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa tidak ada hubngan antara persyaratan taklif dengan
tercapainya syarat syar’i adalah Imam al-Syafi’i, ulama Iraq yang bermazhab
Hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa
orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syari’at
seperti ibadah shalat, puasa, dan haji. Artinya, meskipun mereka tidak sah
niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah
itu sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya. Kelompok ulama ini
mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut :
1.
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadat secara umum juga menjangkau
orang-orang kafir, diantaranya seperti dalam surat Al-Baqarah : 21
يَآأيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمْ....(البقرة)
Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu”
Alasan ini ditanggapi oleh kelompok ulama
yang berlawanan pendapat, bahwa memang umum ayat dapat menjangkau orang-orang
kafir, tetapi keumuman ayat-ayat tersebut telah ditakhsis dengan syarat-syarat
syar’i yang tidak mungkin ibadat itu sah kecuali dengan syarat tersebut. Sahnya
sholat tergantung pada sahnya wudhu, sedangkan sahnya wudhu tergantung pada
niat, sedangkat niat tergantung kepada iman.
2. Orang kafir itu seandainya tidak
dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu’ tentu tidak ada
ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat. Padahal ayat yang mengancam
orang kafir karena meninggalkan ibadat itu cukup banyak, umpamanya firman Allah
dalam surat Fushshilat : 6 – 7
وَوَيْلٌ
لِلْمُشْرِ كِيْنَ الَّدِيْنَ لاَيُؤْتُوْنَ الزَّ كَاةَ
.
Artinya : “Neraka (wail) bagi orang
musyrik, (yaitu) orang-orang yang tidak membayar zakat.”
Demikian pula dalam surat Al-Mudatstsir :
42
مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرٍ قَاُلوْا
لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ
Artinya : “Apa yang membawa mu ke
neraka ?” mereka berkata “Kami tidak melakukan sholat.”
Dengan adanya ancaman seperti yang
disebutkan di atas nyatalah bahwa oang-orang kafir dikenai tuntutan untuk
melaksanakan sebagian perintah, begitu pula terhadap yang lainnya.
3. Orang-orang kafir dikenai taklif
untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang
mukmin, seperti berlaku atasnya sanksi zina, mencuri, dan lainnya. Argumen ini
pun dibantah oleh ulama yang tidak setuju. Larangan ini menghendaki penghentian
apa yang dilarang. Hal demikian dapat dilakukan orang kafir, sedangkan perintah
menghendaki pelaksanaan yang tidak mungkin dilakukan orag kafir karena niat mereka
tidak diperhitungkan, sedangkan niat itu dalam pelaksanaan ibadat merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.
Kedua, pendapat dari
sebagian ulama Hanafiyah, Abu Ishak al Asfahani, sebagian kelompok Syafiiyah
dan sebagian ulama Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak
dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi kelompok ini berlakunya
taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’i, sedangkan orang kafir tidak
memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argumen sebagai berikut.
1.
Seandainya
orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ syariat, tentu melakukan
perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian, karena kafirnya itu mencegah
sahnya ibadat mereka.
2.
Seandainya
orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib mereka mengqadha apa yang dia
tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah ia masuk Islam. Ternyata yang demikian
tidak betul, karena bila ia masuk Islam maka segala kekurangan pada waktu yang
lalu dihapuskan berdasarkan sabda Nabi :
اَلإ سْلاَ مُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ
Artinya : “Islam itu memotong segala
sesuatu sebelumnya.”
Ketiga, kelompok
ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan
larangan, tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk
melakukan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan
larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat, tidak
diperlukan niat.[9]
D.Ahliyyah
Secara
harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan.
Adapun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli Ushul Fiqih
adalah :
صِفَةٌ يُقَدِّرُهَا الشَّارِعُ فِى الشَّخْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلًّا
لِخِطَابِ تَشْرِيْعِيٍّ .
Artinya
: “Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.”
Dengan
definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang
menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akal, sehingga seluruh
tindakan dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut
dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang
bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya,
hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah.[10]
Menurut
para ulama Ushul Fiqih, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu :
1.
Ahliyyah Ada’
Yaitu
sifat kecakapan bertindak hukum bagi seorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan, baik yang bersifat positif maupun
yang bersifat negatif. Menurut kesepakatan ulama Ushul Fiqih, yang menjadi
ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’
adalah aqil, balig, dan cerdas.
Kesepakatan
ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 6 :
وَ ابْتَلُوا الْيَتَمَى حَتَّى اِذَا بَلَغُ النِّكاَحَ فَاِنْ اَ
نَسْتُمْ منْهُمْ رُشْدًا فَادْ فَعُوْا إلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ (النساء
:٦)
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah.
Kemudian jika menurut pendapat mu mereka cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah pada mereka harta-hartanya.” (QS.
An-Nisa : 6)[11]
Kecakapan
berbuat hukum atau ahliyyah ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap
tingkat, dikaitkan pada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah :
a.
Adim
Al-Ahliyah
Yaitu
manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun. Dalam
batas umur ini, anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Karena itu,
anak seumur ini belum disebut mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum.
Di samping perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapannya
pun tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu, transaksi yang dilakukan
dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat
hukum.
b.
Ahliyah
Ada’ Naqishah
Yaitu
manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas
dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini karena akalnya masih lemah
dan belum sempurna. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya,
terbagi pada 3 tingkat, dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri,
yaitu:
1)
Tindakan yang
semata-mata menguntungkan kepadanya. Misalnya, menerima pemberian (hibah) dan
wasiat.
2)
Tindakan yang
semata-mata merugikannya atau merugikan hak-hak yang ada padanya. Misalnya,
pemberian yang dilakukannya, baik dalam bentuk hibah atau shadaqah.
3)
Tindakan yang
mengandung keuntungan dan kerugian. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, upah
mengupah dan lainnya yang di satu pihak mengurangi hak nya dan dipihak lain
menambahi hak yang ada padanya.
c.
Ahliyyah
Al-Ada’ Kamilah
Yaitu
manusia yang mencapai usia dewasa. Usia dewasa dalm kitab-kitab fiqih
ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani.
Menurut
jumhur ulama, umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Sedangkan menurut abu hanifah, umur dewasa untuk laki-laki adalah 18 tahun dan
17 tahun untuk anak perempuan. Bila seseorang tidak atau belum mencapai umur
tersebut, maka belum berlaku padanya beban hukum atau taklif.[12]
2.
Ahliyyah
Al-Wujub
Yaitu
sifat kecakapan seorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi
belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Namun demikian, ia dianggap belum
mampu untuk dibebani kewajiban-kewajiban syara’, seperti sholat, puasa, haji,
dan lainnya. Menurut ulama Ushul Fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah
al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh,
kecerdasan, dan lain-lain. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak
dilahirkan sampai meninggal dunia dan akan hilang dari seseorang apabila orang
yang bersangkutan meninggal dunia.
Para
ulama Ushul Fiqih membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian,
yaitu :
a.
Ahliyyah
Al-Wujub Al-Naqishah
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin
sudah dianggap memiliki ahliyyah al-wujub, tetapi belum sempurna.
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu :
- Hak keturunan dari ayahnya
- Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia
- Wasiat yang ditujukan kepadanya
- Harta waqah yang ditujukan kepadanya
b.
Ahliyyah
Al-Wujub Al-Kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke
dunia sampai dinyatakan balig dan berakal sekalipun akalnya masih kurang,
seperti orang gila.
Dalam status ahliyyah al-wujub (baik yang sempurna
atau tidak), seseorang tidak dibebani tuntutan syara’, baik bersifat ibadah
mahdlah, maupun yang sifatnya tindakan-tindakan hukum duniawi.
Akan tetapi, apabila tindakannya berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat fisik rohani, seperti melukai seseorang dan bahkan membunuhnya maka
tindakan hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah al-wajib al-kamilah
belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia dianggap belum cakap
untuk bertindak hukum.
Penentuan
mampu atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya.
Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa berdasarkan hukum biologis, akal
seseorang bisa berubah, kurang, bahkan hilang. Akibatnya, mereka dianggap tidak
mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama Ushul Fiqih
menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan
hal-hal berikut :
1.
Awaridh
As-Samawiyah
Yaitu
halangan yang datangnya dari Allah bukan disebakan perbuatan manusia, seperti
gila, dungu, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian), dan
lupa.
2.
Awaridh
Al-Muktasabah
Maksudnya
halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, dan bodoh.
Kedua
bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tidakan hukumnya,
yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau
mengubahnya. Oleh karena itu mereka membagi halangan bertindak hukum itu
dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk :
1.
Halangan yang
bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah
al-ada’) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.hal
ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ امَّتِى عَنِ اْلحَطَاءِ وَ النِّسْيَا نِ وَ مَا اسْتَكْرَهَ
لَهُ (رواه ابن ما جه والطبرانى)
“Diangkatkan (pembebanan hukum) dari
umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
2.
Halangan yang
dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu. Orang seperti
ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi
sifat kecakapannya dalam bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya
bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap
batal.
3.
Halangan yang
sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berhutang,
pailit, dan orang yang lalai. Sifat-sifat tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah
al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan
masalah harta dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan
hak-hak orang yang membayar hutang.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ushul Fiqih telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Mukallaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.
Taklif adalah sebuah
tuntutan untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang terdapat musaqqah di dalamnya.
Ahliyyah secara
terminologi, menurut para ahli Ushul Fiqih adalah suatu sifat yang dimiliki
seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara.
Menurut para ulama Ushul Fiqih, ahliyyah terbagi dalam dua
bentuk, yaitu :
1.
Ahliyyah Ada’
2.
Ahliyyah
Al-Wujub
Ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum
seseorang bisa berubah disebabkan oleh :
1.
Awaridh
As-Samawiyah
2.
Awaridh Al-Muktasabah.
B.
Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat,
kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu kami sebagai penulis memohon maaf jika terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penulisan maupun percetakan, untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi untuk
menyempurnakan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan
kita bisa mengambil hikmah yang terkandung di dalamya. Amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
1998.
Zubair, Maemun. Pengantar Memahami Lubbul Ushul. Kediri :
Lirboyo Press. 2015.
Syarifuddin , Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu. 1997.
[1] Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 334.
[2] Maemun Zubair,
Pengantar Memahami Lubbul Ushul, (Kediri : Lirboyo Press, 2015), 32.
[3] Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 335.
[4] Maemun Zubair,
Pengantar Memahami Lubbul Ushul, (Kediri : Lirboyo Press, 2015), 8 – 9.
[5] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta : Logos wacana ilmu, 1997), 356.
[6] Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 336.
[7] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta : Logos wacana ilmu, 1997), 356.
[8] Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 336 – 338.
[9] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta : Logos wacana ilmu, 1997),
362 – 365.
[10] Rahmat Syafe’i,
Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 339.
[11] Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 339 – 340.
[12] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta : Logos wacana ilmu, 1997),
359 – 360.
[13] Rahmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), 314 – 344.
Komentar
Posting Komentar