Langsung ke konten utama

FQIH MUAMALAH (AL-QARDHU)



AL QARDLU
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
FIQIH MUAMALAH
Dosen pembimbing :  Dr. Jamaluddin Achmad Khalik, Lc. MA

Di susun oleh :
Fatihatul Ulfa                          (931321015)
A‘issatul Khumairo’               (931326715)
Elma Syeilia Ayustina             (931324715)
Kelas H
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) KEDIRI 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Islam adalah agama yang selalu mengedepankan kepentingan umat,
sekaligus menghargai hak-hak pribadi seorang muslim. Ini berlaku dalam segala hal termasuk kebijakan ekonomi.
Dalam islam banyak cabang ilmu, baik ilmu tentang ketuhanan, ilmu tentang hukum maupun ilmu-ilmu yang lainnya. Seperti yang akan kita bahas yaitu fiqih muamalah. Dalam fiqih muamalah  banyak hukum ataupun ketentuan yang di jelaskan didalamnya, salah satunya adalah Al-Qordu.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas tentang apa itu Al-Qardu dan apa saja yang ada di dalamnya. Secara bahasa Al-Qardu adalah pinjaman hutang, atau bisa juga di sebut dengan hutang piutang. Yang hutang tersebut harus dibayar oleh seorang yang menghutang kepada yang memberi hutang, dengan syarat pengembaliannya sesuai dengan apa yang sudah ia pinjam dengan tanpa mengurangi atau melebihinya.











B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi Al-Qardh ?
2.      Bagaimana dasar hukum disyariatkannya Qardh  beserta hikmahnya?
3.      Bagaimana rukun dan syarat Qardh ?
4.      Bagaimana akad perutangan dan harta yang boleh dihutangkan ?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui dan memahami definisi Al-Qardh
2.      Mengetahui dan memahami dasar hukum disyariatkannya Qardh beserta hikmahnya.
3.      Mengetahui dan memahami rukun-rukun dan syarat-syarat Qardh
4.      Mengetahui bagaimana akad perutangan dan harta yang boleh dihutangkan.









BAB I
PEMBAHASAN
A.    Definisi Al-Qardh
Qardh secara bahasa berasal dari kata qaradha yang berarti juga qatha’a yang artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan  utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang(muqtaridh). Sedangkan secara istilah qardh adalah memberikan kepemilikan (tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya tanpa unsur tambahan.[1] secara istilah, qardh didefinisikan Hanafiah sebagai berikut,
القرض هو ما تعطيه من مال مثليّ لتتقاضاه, أو بعبارة أخرى هو عقد مخصوص يردّ على دفع مال مثليّ لأخر ليردّ مثله
"Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari maal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ugkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta(maal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya."
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh Ali Fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut,
القرض هو دفع مال لمن ينتفع به ويردّ بدله
Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.[2]

Baik Hanabilah maupun Hanafiah, keduanya memandang bahwa qardh diartikan sebagai harta yang diberikan oleh muqridh kepada muqtaridh yang pada suatu saat harus dikembalikan. Hal ini seperti yang diungkapkan Ali Fikri yang mengutip pendapat Syafi’iyah,
القرض هو يطلق شرعا بمعنى الشيئ المقرض
Qardh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).
Sedangkan menurut Fathul Mu’in, Al-Qardu adalah menghutangi atau memberikan milik sesuatu kepada oang lain dengan pengembalian yang sama. Hukumnya adalah sunnah, karena mengandung unsur menolong untuk menghilangkan kesulitan.[3]
Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.[4]

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa qardh adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama. Selain itu dalam hal ini qardh juga dapat diartikan sebagai perbuatan memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan yang nanti harus dikembalikan.
B.     Dasar Hukum Disyariatkannya Qardh beserta Hikmahnya
1.      Dasar Hukum Qardh
Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Dalam Al-qur’an, qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara lain:
a.    Al-Baqarah(2) ayat 245:
مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ -٢٤٥-
Artinya:Barang siapa mau member pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pemmbayaran kepadanya.”
b.    Al-Hadid(57) ayat 11:
مَن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ -١١-
Artinya: siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak.

c.    At-Taghabun(64)ayat 17 :
إِن تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ -١٧-
Artinya: jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.[5]
Dari sisi muqridh (orang yang memberikan utang), Islam menganjurkan kapada umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lainyang membutuhkan dengan cara memberi utang. Dari sisi muqtaridh, utang diperbolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dn ia akan mengembalikan persis seperti yang diterimanya. Dalam kaitan dengan hal ini ada beberapa hadits yang berisi anjuran untuk membantu orang lain, antara lain :


a.       Hadits Abu Hurairah :
عن أبي هريرة عن النّبي ص ل ع م. قال من نفّس عن مسلم كربة من كرب الدّنيا نفّس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة, ومن يسّر على معسر فى الدّنيا يسّر الله عليه فى الدّنيا ولأخرة, ومن ستر على مسلم فى الدّنيا ستر الله عليه فى الدّنيا والأخرة والله فى عون العبد ما كان العبد فى عون أخيه الله عليه فى الدّنيا ولأخرة, ومن ستر على مسلم فى الدّنيا ستر الله عليه فى الدّنيا والأخرة والله فى عون العبد ماكان
Artinya : dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: barang siapa yang melepaskan dari seorang muslim kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat, dan barang siapa uang memberikan kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memberikan kepadanya kemudahan di dunia dan akhirat, dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya salam hamba itu mau menolong saudaranya.(HR. Tirmidzi)
b.      Hadits Ibnu Mas’ud :
عن عبد الله إبن مسعود أنّ النّبي ص ل ع م. كان يقول : من أقرض الله كان له مثل أجر من أجر أحدهما لو تصدّق به
Artinya :Dari Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda: barang siapa yang memberikan utang atau penjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala salah satunya andai kataia menyedekahkannya.”(HR. Ibnu Hibban).
Dari kedua hadits di atas dapat dipahami bahwa qardh merupakan perbuatan yang dianjurkan. Dalam hadits pertama disebutkan bahwa apabila seseorang memberikan pertolongan  kepada orang lain, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya di dunia dan akhirat. Sedang dalam hadits yang kedua dijelaskan bahwa memberikan pinjaman sebanyak dua kali, nilainya sama dengan bersedekah satu kali.

2.      Hikmah Qardh
-          Dari sisi muqtaridh, dapat membantu meringankan beban mereka yang membutuhkan seperti kebutuhan bahan untuk makan, kemudian ada orang yang bersedia memberikan pinjaman tanpa tambahan bunga, maka beban kesulitannya untuk sementara dapat teratasi.
-          Dari sisi muqridh, dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong, menghaluskan perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dilami oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.[6]
C.    Rukun dan Syarat Qardh
            Seperti halnya jual beli, para ulama berbeda pandapat dalam rukun qardh. Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedang menurut jumhur ulama, rukun qardh adalah sebagai berikut:
a.       Aqid, yaitu muqridh  dan muqtaridh
      Untuk aqid, baik muqridh  dan muqtaridh, disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasharuf . oleh karena itu qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur atau orang gila.
b.      ma’qud alaih, yaitu uang atau barang
      Menurut jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah bahwa yang menjadi objek akad dalam qardh berupa barang-barang yang ditakar dan ditimbang, maupun barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran,  seperti hewan, barang-barang dagangan dan barang-barang yang dihitung. Atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli boleh pula dijadikan objek akad qardh.
      Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud alaih hukumnya sah dalam mal mitsli, seperti barang-barang yang ditakar(makilat), barang-barang yang ditimbang(mauzunat), barang-barang yang dihitung(ma’dudat) seperti telur. Dan barang-barang yang bisa diukur dengan meteran(madzru’at). Sedang barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya di pasaran tidak boleh dijadikan objek qardh, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.
c.       Sighat, yaitu ijab dan Kabul.
      Sighat ijab bisa dengan menggunakan lafadz qardh(utang atau pinjaman), atau dengan lafadz yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “saya milikkan padamu barang ini, dengan ketentuan anda harus megembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata’milik’ di sini bukan berarti diberikan secara cuma-Cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar.[7]
D.    Akad Perutangan
            Akad perutangan adalah akad pemberian kepemilikan. Oleh karena itu, akad ini tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang boleh melakukan transaksi dan tidak terlaksana kecuali dengan ijab kabul.
            Menurut ulama’ madzhab maliki, kepemilikan debitor atas harta tetap dengan akad meskipun ia belum menerimanya. Debitor boleh mengembalikan harta yang serupadengan harta tersebut dan boleh juga mengembalikan harta itu sendiri, baik yang serupa ataupun yang tidak serupa dengannya, selagi barang tersebut tidak berubah dengan penambahan atau pengurangan. Apabila harta tersebut berubah, maka dia wajib mengembalikan yang serupa dengannya.[8]
E.     Harta yang Boleh Diutangkan
            Boleh menghutangkan pakaian atau binatang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berutang seekor unta muda kepada lelaki.
            Boleh juga mengutangkan barang-barang yang isa ditakar atau ditimbang atau barang-barang yang diperdagangkan.
            Boleh juga menghutangkan roti dan khamir (roti yang adonannya beragi). Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah berkata :”Wahai Rasulullah sesungguhnya para tetangga berutang roti dan khamir lalu mengembalikannya dengan pengurangan dan penambahan dan pengutangan. Beliau bersabda “Tidak apa-apa, sesungguhnya itu adalah sebagian dari hal-hal yang bermanfaat bagi manusia dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kelebihan.[9]

F.     Setiap Piutang yang Mendatangkan Manfaat adalah Riba
            Akad perutangan dimaksudkan untuk mengasihi manusia, menolong mereka dalam menghadapi berbagai urusan dan memudahkan sarana-sarana kehidupan. Akad perutangan bukanlah sarana untuk memperolah penghasilan dan bukan pula salah satu metode untuk mengekploitasi orang  lain.
            Oleh karena itu, debitor tidak boleh mengembalikan kepada kreditor kecuali apa yang telah diutangnya atau yang serupa dengannya, sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan setiapa piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba. Keharaman ini berlaku apabla bermanfaat.
G.    Konsekuensi Hukum Akad Al-Qordlu
1.      Hak Memiliki dan Status Akad
      Menurut qaul ashah, muqtaridl berstatus memiliki atas muqradl, terhitung sejak penerimaan muqradl  (qabdl) sebagaimana dalam akad hibah. Sebab, sejak penerimaan tersebut, muqtaridl telah memiliki otoritas untuk mentasharufkan muqradl.
      Konsekuensi dari kepemilikan muqtaridl atas muqradl ini adalah hak muqridl telah berpindah dari muqradl yang tertentu secara fisik (mu’ayyan) pada pengganti (badal)-nya yang berada dalam tanggungan (dzimmah)-nya muqtaridl.
      Sedangkan menurut muqabil ashah, muqtaridl baru berstatus mamiliki muqradl terhutang sejak ia mentasharufkan muqradl yang bisa menghilangkan dari kepemilikannya, seperti menjual, menghibahkan, mewaqafkan atau tasharuf lainnya.
2.      Hutang Bersyarat
Secara umum, syarat atau klausul dalam akad qarlu ada tiga yakni :
a.       Syarat Fasid yang Musid
            Yaitu klausul yag disyaratkan dalam akad qardlu yang memberikan keuntungan (naf’an) sepihak (muqridl saja). Seperti memberikan pinjaman huang dengan syarat mengembalikan dengan nilai lebih. Kalusul demikian dapat membatalkan akad (mufsid) sebab termasuk riba qardli.
            Namun akad qardlu ini ada dua pendapat yaitu Sah namun makruh menurut syafi’iyyah dan Haram menurut A’immah tsalatsah.
b.      Syarat Fasid tidak Mufsid
            Yaitu klausul yang disyaratkan dalam akad qardlu yamg memberikan keuntungan (naf’an) sepihak, muqtaridl saja atau menguntungkan kedua belah pihak, namun keuntungan pihak muqtaridl lebih besar.
c.       Syarat Shahih
            Yaitu kalusu-klausul yang disyaratkan dalam akad qardlu hanya bersifat sebagai jaminan, spefti syarat gadai (rahn), syarat persaksian (isyhad), dan lain-lain. Sbab syarat kausul tersebut hanya bersifat jaminan dan bukan sebagai kauntungan yang lebih. Sehingga masih sejalan dengan konsekuensi akad (muqtadla al-‘aqd).

3.      Sistem Pembayaran
      Sistem pembayaran hutang yang harus di lakukan muqtaridl adalah mengganti padanan muqrodl apabila muqrodl berupa barang yang memiliki padanan. Sebab, prinsip fundamental akad qordlu adalah mengambil padanan muqrodl. Di samping itu, pembayaran demikian merupakan sistem penggantian yang paling dekat atau sepadan dengan hukum muqridl.
      Sedangkan apabila muqradl berupa barang yang tidak memiliki padanan, maka terjadi perbedaan pendapat. Menurut satu fersi, pembayaran dengan sistem mengganti padanan bentuknya, seperti hutang kambing di bayar dengan kambing yang sepadan, menurut hadis riwayat muslim. Dan menurut fersi lain, dengan mengganti nilai harganya (qimah). Yakni qimah pada saat penerimaan muqradl jika mengacu pada versi yang menyatakan kepemilikan muqtaridl terhitung sejak penerimaan, dan qimah tertinggi antara penerima hingga terhitung sejak penerima, dan qimah tertinggi antara penerima hingga tasaruf jika, mengacu pada versi yang menyatakan kepemilikan muqtaridl terhitung sejak mentasarufkan muqradl. Seperti hutang kambing yang di bayar dengan mata uang yang senilai dengannya.

      Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong menolong). Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.[10]























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qardh secara bahasa berasal dari kata qaradha yang berarti juga qatha’a yang artinya memotong.
Sedangkan secara istilah qardh adalah memberikan kepemilikan (tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya tanpa unsur tambahan.
Adapun rukun dyarat Al-Qardl yaitu :
-          Aqid, yaitu muqridh  dan muqtaridh
-          ma’qud alaih, yaitu uang atau barang
-          Sighat, yaitu ijab dan Kabul.
Akad perutangan adalah akad pemberian kepemilikan. Oleh karena itu, akad ini tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang boleh melakukan transaksi dan tidak terlaksana kecuali dengan ijab kabul.
Boleh menghutangkan pakaian atau binatang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berutang seekor unta muda kepada lelaki.
Secara umum, syarat atau klausul dalam akad qarlu ada tiga yakni :
1.      Syarat Fasid yang Musid
2.      Syarat Fasid tidak Mufsid
3.      Syarat Shahih
                        Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil.




B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sebagai penulis memohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam penulisan maupun percetakan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi untuk menyempurnakan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan kita bisa mengambil hikmah yang terkandung di dalamya. Amiin.


DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Yazid, Fiqh Muamalah cet.1, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009
As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in Jilid 2, Jogjakarta : Menara Kudus, 1979
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Punda Askara, 2008
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri : Lirboyo Press, 2015
Wardi Muslih, Ahmad, Fiqih Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010






[1]Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri : Lirboyo Press, 2015).,100
[2]Ahmad Wardi Muslih, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010)., 273-274
[3]Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in Jilid 2, (Jogjakarta : Menara Kudus, 1979).,206
[4]Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal. 178
[5]Ahmad Wardi Muslih, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010).,275
[6]Ahmad Wardi Muslih, Fiqih Muamalat.,275
[7]Ibid.,279-281
[8]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta : Pena Punda Askara, 2008).,86
[9]Ibid.,86
[10]Yazid Afandi, Fiqh Muamalah cet.1, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009)., 144

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FIQIH IBADAH (ruang lingkup, devnisi dan macam-macamnya)

FIQIH IBADAH ( Devinisi, Ruang Lingkup dan Macam-macamnya)   Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQIH IBADAH Dosen pembimbing : Syaiful Bahri, MHI Di susun oleh : FATIHATUL ULFA                           (931321015) Kelas J PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) KEDIRI 2016 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Fiqh ibadah merupakan pemahaman mendalam terhadap nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berkaitan dengan rukun-rukun dan syarat-syarat yang sah tentang penghambaan diri manusia kepada Allah Swt. Dalam fiqh ibadah dikaji beberapa sistem ibadah hamba kepada Allah Swt, yaitu tentang wudhu, tayamum, istinja’, mandi janabat, shalat, zakat, puasa, haji dan dalil-dalil yag memerintahkannya. Dan juga disertai contoh pelaksanaan semua ibadah yang dimaksud yang datang dari Rasulullah Saw. Pelaksanaan ibadah di b

QAWAD FIQHIYAH (KADAH CABANG AL-UMURU BMAQOSDIHA)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kaidah fiqhiyah adalah kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqh yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Kaidah-kaidah fiqhiyah dibuat oleh para ahli ijtihad yang diistinbath dari Al-Qur’an atau hadits Nabi Saw. untuk memudahkan dalam berijtihad untuk menentukan sebuah ketentuan hukum. Dalam kaitan tersebut kaidah sangatlah penting sebagai suatu rumus atau patokan dalam berijtihad. Al-Qur’an dan Hadits sampai kepada kita masih otentik dan orisinal. O risinilitas dan otentisitas didukung oelh pengguna bahasa aslinya yaitu bahasa arab, karena Al-Qur’an dan hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum. Untuk mengetahui hukum tidak cukup hanya dengan adanya petunjuk, melainkan memerlukan cara khusus untuk mengetahui atau memahaminya dari petunjuk-petunjuk tersebut. Cara itul

USHUL FIQH "MAHKUM 'ALAIH" (FATIHATUL ULFA)

Mahkum ‘Alaih dan Permasalahannya Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh Dosen Pembimbing Drs.H.Abdul Wahab Ahmad Khalil Disusun Oleh : Putri Ragil Mei Ria      (931320115) Ika Mualimatul K         (931322715) Fatihatul Ulfa                (931321015) Kelas G PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI 2016 DAFTAR ISI Halaman Judul ......................................................................         i Daftar Isi ................................................................................        ii BAB I       PENDAHULUAN A. ... Latar Belakang .............................................        1 B. ... Rumusan Masalah ........................................        2 C. ... Tujuan Penulisan .........................................        2 BAB II     PEMBAHASAN A.          Mahkum ‘Alaih ...