AL QARDLU
Tugas ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
FIQIH MUAMALAH
Dosen pembimbing : Dr. Jamaluddin Achmad Khalik, Lc. MA
Di susun oleh :
Fatihatul Ulfa (931321015)
A‘issatul Khumairo’ (931326715)
Elma Syeilia Ayustina (931324715)
Kelas H
PROGRAM STUDI
EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN
SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) KEDIRI 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama
yang selalu mengedepankan kepentingan umat,
sekaligus menghargai hak-hak
pribadi seorang muslim. Ini berlaku dalam segala hal termasuk kebijakan
ekonomi.
Dalam islam banyak cabang
ilmu, baik ilmu tentang ketuhanan, ilmu tentang hukum maupun ilmu-ilmu yang
lainnya. Seperti yang akan kita bahas yaitu fiqih muamalah. Dalam fiqih
muamalah banyak hukum ataupun ketentuan
yang di jelaskan didalamnya, salah satunya adalah Al-Qordu.
Dalam pembahasan kali
ini, kami akan membahas tentang apa itu Al-Qardu dan apa saja yang ada di
dalamnya. Secara bahasa Al-Qardu adalah pinjaman hutang, atau bisa juga di
sebut dengan hutang piutang. Yang hutang tersebut harus dibayar oleh seorang yang
menghutang kepada yang memberi hutang, dengan syarat pengembaliannya sesuai
dengan apa yang sudah ia pinjam dengan tanpa mengurangi atau melebihinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Al-Qardh ?
2. Bagaimana dasar hukum disyariatkannya Qardh beserta hikmahnya?
3. Bagaimana rukun dan syarat Qardh ?
4. Bagaimana
akad perutangan dan harta yang boleh dihutangkan ?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami definisi Al-Qardh
2. Mengetahui dan memahami dasar hukum
disyariatkannya Qardh beserta
hikmahnya.
3. Mengetahui dan memahami rukun-rukun dan
syarat-syarat Qardh
4. Mengetahui
bagaimana akad perutangan dan harta yang boleh dihutangkan.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Definisi
Al-Qardh
Qardh secara bahasa berasal dari kata qaradha yang berarti juga qatha’a yang artinya memotong. Diartikan
demikian karena orang yang memberikan
utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang
menerima utang(muqtaridh). Sedangkan secara istilah qardh adalah
memberikan kepemilikan (tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan
penggantinya tanpa unsur tambahan.[1] secara istilah, qardh didefinisikan Hanafiah sebagai berikut,
القرض هو ما تعطيه من مال مثليّ
لتتقاضاه, أو بعبارة أخرى هو عقد مخصوص يردّ على دفع مال مثليّ لأخر ليردّ مثله
"Qardh adalah harta yang diberikan kepada
orang lain dari maal mitsli untuk kemudian dibayar atau
dikembalikan. Atau dengan ugkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang
khusus untuk menyerahkan harta(maal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian
dikembalikan persis seperti yang diterimanya."
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh Ali
Fikri memberikan definisi qardh
sebagai berikut,
القرض هو دفع مال لمن ينتفع به ويردّ بدله
“Qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya”.[2]
Baik Hanabilah maupun Hanafiah,
keduanya memandang bahwa qardh
diartikan sebagai harta yang diberikan oleh muqridh
kepada muqtaridh yang pada suatu
saat harus dikembalikan. Hal
ini seperti yang diungkapkan Ali Fikri yang mengutip pendapat Syafi’iyah,
القرض
هو يطلق شرعا بمعنى الشيئ المقرض
“Qardh dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu
yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”
Sedangkan
menurut Fathul Mu’in, Al-Qardu adalah menghutangi atau memberikan milik sesuatu
kepada oang lain dengan pengembalian yang sama. Hukumnya adalah sunnah, karena
mengandung unsur menolong untuk menghilangkan kesulitan.[3]
Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada
orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan
bukan transaksi komersil.[4]
Dari beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa qardh adalah
suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang
kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang
tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama. Selain itu dalam hal ini qardh juga dapat diartikan sebagai perbuatan memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhan yang nanti harus dikembalikan.
B.
Dasar Hukum Disyariatkannya Qardh
beserta Hikmahnya
1. Dasar Hukum Qardh
Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul. Dalam Al-qur’an, qardh
disebutkan dalam beberapa ayat, antara lain:
a. Al-Baqarah(2) ayat 245:
مَّن ذَا الَّذِي
يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ
يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ -٢٤٥-
Artinya:”Barang siapa mau member pinjaman kepada
Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
melipatgandakan pemmbayaran kepadanya.”
b. Al-Hadid(57) ayat 11:
مَن ذَا الَّذِي
يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ -١١-
Artinya:
“siapakah yang mau meminjamkan kepada
Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman
itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak”.
c. At-Taghabun(64)ayat 17 :
إِن تُقْرِضُوا
اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ
حَلِيمٌ -١٧-
Artinya:
“jika kamu meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.”[5]
Dari sisi muqridh (orang yang memberikan utang), Islam menganjurkan kapada
umatnya untuk memberikan bantuan kepada orang lainyang membutuhkan dengan cara
memberi utang. Dari sisi muqtaridh,
utang diperbolehkan karena seseorang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan
barang atau uang yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dn ia
akan mengembalikan persis seperti yang diterimanya. Dalam kaitan dengan hal ini
ada beberapa hadits yang berisi anjuran untuk membantu orang lain, antara lain
:
a.
Hadits
Abu Hurairah :
عن
أبي هريرة عن النّبي ص ل ع م. قال من نفّس عن مسلم كربة من كرب الدّنيا نفّس الله
عنه كربة من كرب يوم القيامة, ومن يسّر على معسر فى الدّنيا يسّر الله عليه فى
الدّنيا ولأخرة, ومن ستر على مسلم فى الدّنيا ستر الله عليه فى الدّنيا والأخرة
والله فى عون العبد ما كان العبد فى عون أخيه
Artinya : dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau
bersabda: barang siapa yang melepaskan dari seorang muslim kesusahan dunia,
maka Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat, dan barang siapa uang
memberikan kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesulitan di dunia,
maka Allah akan memberikan kepadanya kemudahan di dunia dan akhirat, dan barang
siapa yang menutupi aib seorang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi
aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya salam
hamba itu mau menolong saudaranya.(HR. Tirmidzi)
b.
Hadits
Ibnu Mas’ud :
عن
عبد الله إبن مسعود أنّ النّبي ص ل ع م. كان يقول : من أقرض الله كان له مثل أجر
من أجر أحدهما لو تصدّق به
Artinya :”Dari
Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda: barang siapa yang memberikan
utang atau penjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memperoleh pahala
seperti pahala salah satunya andai kataia menyedekahkannya.”(HR. Ibnu Hibban).
Dari kedua
hadits di atas dapat dipahami bahwa qardh
merupakan perbuatan yang dianjurkan. Dalam hadits pertama disebutkan bahwa
apabila seseorang memberikan pertolongan
kepada orang lain, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya di
dunia dan akhirat. Sedang dalam hadits yang kedua dijelaskan bahwa memberikan
pinjaman sebanyak dua kali, nilainya sama dengan bersedekah satu kali.
2.
Hikmah
Qardh
-
Dari
sisi muqtaridh, dapat membantu
meringankan beban mereka yang membutuhkan seperti kebutuhan bahan untuk makan,
kemudian ada orang yang bersedia memberikan pinjaman tanpa tambahan bunga, maka
beban kesulitannya untuk sementara dapat teratasi.
-
Dari
sisi muqridh, dapat menumbuhkan jiwa
ingin menolong, menghaluskan perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan
yang dilami oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.[6]
C.
Rukun dan Syarat Qardh
Seperti halnya jual beli, para ulama
berbeda pandapat dalam rukun qardh.
Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah
ijab dan qabul. Sedang menurut jumhur ulama, rukun qardh adalah sebagai berikut:
a.
Aqid, yaitu muqridh
dan muqtaridh
Untuk aqid, baik muqridh dan muqtaridh,
disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasharuf . oleh karena itu qardh
tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur atau orang gila.
b.
ma’qud alaih, yaitu uang atau barang
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah
bahwa yang menjadi objek akad dalam qardh
berupa barang-barang yang ditakar dan ditimbang, maupun barang-barang yang tidak
ada persamaannya di pasaran, seperti
hewan, barang-barang dagangan dan barang-barang yang dihitung. Atau dengan perkataan lain, setiap
barang yang boleh dijadikan objek jual beli boleh pula dijadikan objek akad qardh.
Hanafiah
mengemukakan bahwa ma’qud alaih
hukumnya sah dalam mal mitsli,
seperti barang-barang yang ditakar(makilat),
barang-barang yang ditimbang(mauzunat),
barang-barang yang dihitung(ma’dudat)
seperti telur. Dan barang-barang yang bisa diukur dengan meteran(madzru’at). Sedang barang yang tidak ada
atau sulit mencari persamaannya di pasaran tidak boleh dijadikan objek qardh, seperti hewan, karena sulit
mengembalikan dengan barang yang sama.
c.
Sighat, yaitu ijab dan Kabul.
Sighat ijab bisa dengan menggunakan lafadz qardh(utang
atau pinjaman), atau dengan lafadz yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “saya milikkan padamu barang
ini, dengan ketentuan anda harus megembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan
kata’milik’ di sini bukan berarti diberikan secara cuma-Cuma, melainkan pemberian
utang yang harus dibayar.[7]
D.
Akad Perutangan
Akad perutangan adalah akad
pemberian kepemilikan. Oleh karena itu, akad ini tidak boleh dilakukan kecuali
oleh orang yang boleh melakukan transaksi dan tidak terlaksana kecuali dengan
ijab kabul.
Menurut ulama’ madzhab maliki,
kepemilikan debitor atas harta tetap dengan akad meskipun ia belum menerimanya.
Debitor boleh mengembalikan harta yang serupadengan harta tersebut dan boleh
juga mengembalikan harta itu sendiri, baik yang serupa ataupun yang tidak
serupa dengannya, selagi barang tersebut tidak berubah dengan penambahan atau
pengurangan. Apabila harta tersebut berubah, maka dia wajib mengembalikan yang
serupa dengannya.[8]
E.
Harta yang Boleh Diutangkan
Boleh menghutangkan pakaian atau
binatang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah berutang seekor unta muda
kepada lelaki.
Boleh juga mengutangkan
barang-barang yang isa ditakar atau ditimbang atau barang-barang yang
diperdagangkan.
Boleh juga menghutangkan roti dan
khamir (roti yang adonannya beragi). Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah berkata :”Wahai
Rasulullah sesungguhnya para tetangga berutang roti dan khamir lalu
mengembalikannya dengan pengurangan dan penambahan dan pengutangan. Beliau
bersabda “Tidak apa-apa, sesungguhnya itu adalah sebagian dari hal-hal yang
bermanfaat bagi manusia dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kelebihan.[9]
F.
Setiap Piutang yang Mendatangkan Manfaat adalah
Riba
Akad perutangan dimaksudkan untuk
mengasihi manusia, menolong mereka dalam menghadapi berbagai urusan dan
memudahkan sarana-sarana kehidupan. Akad perutangan bukanlah sarana untuk
memperolah penghasilan dan bukan pula salah satu metode untuk mengekploitasi
orang lain.
Oleh karena itu, debitor tidak boleh
mengembalikan kepada kreditor kecuali apa yang telah diutangnya atau yang
serupa dengannya, sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan setiapa piutang
yang mendatangkan manfaat adalah riba. Keharaman ini berlaku apabla bermanfaat.
G.
Konsekuensi Hukum Akad Al-Qordlu
1. Hak
Memiliki dan Status Akad
Menurut qaul ashah, muqtaridl berstatus memiliki atas muqradl,
terhitung sejak penerimaan muqradl
(qabdl) sebagaimana dalam akad hibah. Sebab, sejak penerimaan tersebut,
muqtaridl telah memiliki otoritas untuk mentasharufkan muqradl.
Konsekuensi dari kepemilikan muqtaridl atas muqradl ini adalah
hak muqridl telah berpindah dari muqradl yang tertentu secara fisik (mu’ayyan)
pada pengganti (badal)-nya yang berada dalam tanggungan (dzimmah)-nya
muqtaridl.
Sedangkan menurut muqabil ashah, muqtaridl baru berstatus
mamiliki muqradl terhutang sejak ia mentasharufkan muqradl yang bisa
menghilangkan dari kepemilikannya, seperti menjual, menghibahkan, mewaqafkan
atau tasharuf lainnya.
2. Hutang
Bersyarat
Secara umum, syarat atau
klausul dalam akad qarlu ada tiga yakni :
a. Syarat
Fasid yang Musid
Yaitu klausul yag disyaratkan dalam akad qardlu yang
memberikan keuntungan (naf’an) sepihak (muqridl saja). Seperti memberikan
pinjaman huang dengan syarat mengembalikan dengan nilai lebih. Kalusul demikian
dapat membatalkan akad (mufsid) sebab termasuk riba qardli.
Namun akad qardlu ini ada dua pendapat yaitu Sah namun
makruh menurut syafi’iyyah dan Haram menurut A’immah tsalatsah.
b. Syarat
Fasid tidak Mufsid
Yaitu klausul yang disyaratkan dalam akad qardlu yamg
memberikan keuntungan (naf’an) sepihak, muqtaridl saja atau menguntungkan kedua
belah pihak, namun keuntungan pihak muqtaridl lebih besar.
c. Syarat
Shahih
Yaitu kalusu-klausul yang disyaratkan dalam akad qardlu
hanya bersifat sebagai jaminan, spefti syarat gadai (rahn), syarat persaksian
(isyhad), dan lain-lain. Sbab syarat kausul tersebut hanya bersifat jaminan dan
bukan sebagai kauntungan yang lebih. Sehingga masih sejalan dengan konsekuensi
akad (muqtadla al-‘aqd).
3. Sistem
Pembayaran
Sistem pembayaran hutang yang harus di lakukan muqtaridl adalah
mengganti padanan muqrodl apabila muqrodl berupa barang yang memiliki padanan.
Sebab, prinsip fundamental akad qordlu adalah mengambil padanan muqrodl. Di
samping itu, pembayaran demikian merupakan sistem penggantian yang paling dekat
atau sepadan dengan hukum muqridl.
Sedangkan apabila muqradl berupa barang yang tidak memiliki
padanan, maka terjadi perbedaan pendapat. Menurut satu fersi, pembayaran dengan
sistem mengganti padanan bentuknya, seperti hutang kambing di bayar dengan
kambing yang sepadan, menurut hadis riwayat muslim. Dan menurut fersi lain,
dengan mengganti nilai harganya (qimah). Yakni qimah pada saat penerimaan
muqradl jika mengacu pada versi yang menyatakan kepemilikan muqtaridl terhitung
sejak penerimaan, dan qimah tertinggi antara penerima hingga terhitung sejak
penerima, dan qimah tertinggi antara penerima hingga tasaruf jika, mengacu pada
versi yang menyatakan kepemilikan muqtaridl terhitung sejak mentasarufkan
muqradl. Seperti hutang kambing yang di bayar dengan mata uang yang senilai
dengannya.
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh
dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad saling tolong
menolong). Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk
menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni
kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah
tetap berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank
mengikhlaskannya.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qardh secara bahasa berasal dari kata qaradha yang berarti juga qatha’a yang artinya memotong.
Sedangkan secara istilah qardh adalah memberikan kepemilikan
(tamlik) suatu harta (mal) dengan sistem mengembalikan penggantinya tanpa unsur
tambahan.
Adapun rukun dyarat Al-Qardl
yaitu :
-
Aqid, yaitu muqridh
dan muqtaridh
-
ma’qud alaih, yaitu uang atau barang
-
Sighat, yaitu ijab dan Kabul.
Akad
perutangan adalah akad pemberian kepemilikan. Oleh karena itu, akad ini tidak
boleh dilakukan kecuali oleh orang yang boleh melakukan transaksi dan tidak
terlaksana kecuali dengan ijab kabul.
Boleh
menghutangkan pakaian atau binatang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah
berutang seekor unta muda kepada lelaki.
Secara umum, syarat atau
klausul dalam akad qarlu ada tiga yakni :
1. Syarat
Fasid yang Musid
2. Syarat
Fasid tidak Mufsid
3. Syarat
Shahih
Para Ulama Fiqh sepakat
bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy (akad
saling tolong menolong), bukan transaksi komersil.
B.
Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami
sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu kami sebagai penulis memohon maaf jika terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan baik dalam penulisan maupun percetakan, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi untuk
menyempurnakan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan kita bisa mengambil hikmah yang
terkandung di dalamya. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Yazid, Fiqh
Muamalah cet.1,
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009
As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in Jilid 2, Jogjakarta : Menara
Kudus, 1979
Nawawi,
Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan
Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012
Sabiq, Sayyid,
Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Punda Askara, 2008
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri : Lirboyo
Press, 2015
Wardi Muslih, Ahmad, Fiqih Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010
[1]Tim Laskar Pelangi, Metodologi
Fiqih Muamalah, (Kediri : Lirboyo Press, 2015).,100
[2]Ahmad Wardi Muslih, Fiqih
Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010)., 273-274
[3]Aliy As’ad, Terjemah
Fathul Mu’in Jilid 2, (Jogjakarta : Menara Kudus, 1979).,206
[4]Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), hal. 178
[5]Ahmad Wardi Muslih, Fiqih
Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010).,275
[6]Ahmad Wardi Muslih, Fiqih
Muamalat.,275
[7]Ibid.,279-281
[8]Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, (Jakarta : Pena Punda Askara, 2008).,86
[9]Ibid.,86
Komentar
Posting Komentar