IJTIHAD
(Pengertian,
hukum dan macam-macam ijtihad)
Tugas ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQH
Dosen
pembimbing : M. Nafik, M.HI
Di susun oleh
:
Fatihatul Ulfa
(931321015)
Kelas D
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) KEDIRI 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
BAB II:
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad ............................................................................... 3
B.
Hukum Berijtihad ............................................................................... 5
C.
Macam-macam Ijtihad ........................................................................ 8
BAB III :
PENUTUP
A.
Kesimpulan ........................................................................................ 10
B.
Saran .................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
![]() |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum islam menghadapai tantangan lebih serius, terutama pada abad
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan
baru yang berhubungan dengan hukum islam, para ahlinya sudah tiak bisa lagi
hanya mengandalkan ilmu tentang fiqih, hasil ijtihad dimasa lampau. Alasannya
karena ternyata arisan fiqih yang terdapat dalam buku-buk klasik, bukan saja
sebatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada
sebelumnya.
Al-Qur’an dan Hadits sampai kepada kita masih ontektik dan
orisinil. Untuk mengetahui hukum-hukum tidak cukup dengan adanya petunjuk,
melainkan perlu dengan cara khusus untuk mengetahui atau mengalaminya dari
petunjuk-petunjuk tersebut.cara khusus itulah yang disebut Metode. Ilmu untuk
mengetahui cara itu disebut metodologi. Salah satu cara ataupun metode untuk
mengetahui hukum-hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits,
maka bisa diketahui hukumnya dengan cara melakukan Ijtihad.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas tentang bagaimana
ijtihad, bagaimana hukum ijtihad dan apa saja macam-macam ijtihad. Di kalangan
ulama’ ushul fiqih, terdapat berbagai redaksi dalam mendefinisikan ijtihad,
namun pada intinya adalah sama.
Pada dasarnya ijtihad artinmya bersungguh-sungguh dalam menggunakajn
tenaga baik fisik maupun fikiran. Penjelasan lebih lanjutnya akan kami
jelasakan didalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian ijtihad ?
2.
Bagaimana hukum ijtihad ?
3.
Bagaimana macam-macam ijtihad ?
C.
Tujuan pembahasan
1.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian ijtihad.
2.
Untuk mengetahui bagaimana hukum ijtihade.
3.
Untuk mengetahui bagaimana macam-macam
ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti masyaqqat (kesulitan atau
kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan atau kemampuan). Ijtihad
adalah masdar dari fi’il madzi Ijtahada.[1]
Ijtihad yang berasal
dari kata اجتهد artinya berusaha dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan secara
terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihat yaitu:
بَذُلَ
الْفِقِيْهِ وُسْعَةﹰفِى
اسْتِنْبَاطِ اْﻷَحْكَامِ اْلعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَاالتَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya:
“ pengerahan
segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu
persatu).”[2]
Kata Ijtihad seperti yang dikemukakan Al-Ghazali, biasanya tidak
digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu,
tidak dikatakan ijtihad jika hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti
mengangkat sebiji sawi. Dikalangan ulama Ushul Fiqh terdapat berbagai redaksi
dalam mendefinisikan ijtihad, namun pada intinya adalah sama.
Menurut Ibnu Abd al-Syakuri, dari kalangan Hanafiyyah
mendefinisikan sebagai “pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan
hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid
merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu”.
Sedangkan menurut al-Baidawi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan
syafi’iyyah mendefinisikan sebagai “pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya
menemukan hukum-hukum syara’”. Lebih jelas lagi definisi yang dikemukakan oleh
Abu Zahrah. Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abad kedua puluh ini
mendefinisikan ijtihad sebagai “pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya
dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu
persatu dalil-Nya.
Definisi ijtihad lain yang
dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah “mencurahkan seluruh kemampuan secara
maksimal. Baik yang meng-istinbat-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”.[3]
Definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam yang dikemukakan
oleh ulama ushul fiqh. Namun secara umum adalah sebagai berikut :
عمليّة استنباط الاحكام الشّرعيّة من
أدلّتها التّفصيليّة فى الشّريعةِ
Artinya :
“Aktivitas
untuk memperolah p-engetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci
dalam syari’at”.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui hukum syara’ (agama). Dalam definisi inilah
ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang
menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan di bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti
yang telah dikemukakan diatas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti
luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf dan
falsafat.[4]
Dalam Al-Qur’an disebutkan :
وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ
جُهْدَهُمْ –٧٩-
Artinya : “Dan
(mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu yang disedekahkan) selain
kesanggupan.”
Kata al-jahd
beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari
biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah,
Nabi Saw. mengungkapkan kata-kata :
صلّوا عليّ واجتهدوا فى الدّعاءِ
Artinya :
”Bacalah
sholawat kepada ku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a”.[5]
B.
Hukum Melakukan Ijtihad
Ada banyak kriteria hukum berijtihad menurut para ulama
diantaranya:
a.
Wajib ‘ain, yakni
apabila seseorang yang ditanya perihal hukum sesuatu peristiwa, sedangkan
peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang
yang segera ingin mendapatkan kepastian hukum untuk dirinya sendiri dan tidak
ada mujtahid yang bisa segera ditemui untuk mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
b.
Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang
ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera
hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain
yang lebih ahli.
c.
Sunnah, yakni berijtihad terhadap sesuatu
peristiwa hukum yang belum terjadi baik ditanyakan ataupun tidak ada yang
mempertanyakan.[6]
d.
Haram, yakni apabila berijtihad terhadap
permasalahan yang sudah ditetapkan secara qat’i, sehingga hasil ijtihadnya itu
bertentangan dengan dalil syara’.
e.
Juga dihukumi fardu ‘ain jika ada permasalahan
yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak
boleh taqlid kepada orang lain.[7]
Berijtihad hukumnya sunnah dalam
dua hal yaitu :
1.
Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum
terjadi sebelum ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah
yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian).
2.
Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang
belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Sedangkan berijtihad haram hukumnya
dalam dua hal yaitu :
1.
Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang
tegas (qhat’i) baik berupa ayat atau hadits Rasulullah Saw. atau hasil ijtihad
yang menyalahi ijma’.
2.
Berijtihad bagi seseorang yang tidak
melengkapi syarat-syarat seorang mujtahid.[8]
Adapun syarat-syarat seorang yang
menjadi mujtahid adalah :
a.
Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum
yang terdapat di dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah
syari’at. Akan tetapi tidak di syaratkan untuk menghafalnya, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia
membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum
tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b.
Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang
hukum, baik menutut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi tidak disyaratkan harus
menghafalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti. Ibnu
Arabi membatasinya tiga ribu hadits. Menuru Ibnu Hmbal, dasar ilmu yang
berkaitan dengan hadits Nabi berjumlah 1.200 hadits.
c.
Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak
disyaratkan menghafalnya.
d.
Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan
melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’.
e.
Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan
serta mengistinbatkan, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
f.
Mengetahui bahasa arab berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematika. Hal ini antara lain
karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis menggunakan bahasa arab.
g.
Mengetahui ilmu ushul fiqh yang merupakan
pondasi dari ijtihad.
h.
Mengetahui maqashid syari’ah (tujuan syari’at)
secara umum, karena bagaimanapun juga
syari’at itu berkaitan dengan maqashidu
Asy-Syari’at atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum.[9]
C.
Macam-macam Ijtihad
Ijtihad dilihat dari jumlah pelakunya dibagi menjadi dua yaitu :
1)
Ijtihad fardhi, yaitu ijtuhad yang dilakukan
oleh perorangan atau beberapa mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh
imam mujtahid besar ; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ahmad
Ibnu Hanbal.
2)
Ijtihad jama’i, adalah apa yang dikenal dengan
ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqih, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat
Muhammad Saw. setelah Rasulullah Saw. wafat dalam masalah teetentu.[10]
Dr. Dawalibi
membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat
Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
1)
Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2)
Ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap
permasalahn yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan mertode qiyas.
3)
Ijtihad Al-iatishlah, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan
ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Sedangkan
menurut Muhammad Taqiyu Al-Hakim ijtihad dibagi mnejadi dua bagian saja, yaitu
:
1)
Ijtihad Al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya
didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebasjan berfikir
dengan mengikuti kadah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemudharatan, hukum
itu jelek bila tidak disertai penjelasan dan lain-lain.
2)
Ijtihat syar’i, yaitu ijtihad yang di dasarkan
pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan,
istislah, ‘urf, istishab dan lain-lain.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
etimologi ijtihad berasal dari kata al-jahd atau al-juhd,
yang berarti masyaqqat (kesulitan atau kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan atau kemampuan).
Adapun hukum
melakukan ijtihad yaitu, fardhu ‘ain, fardhu kifayah,sunnah dan haram.
Syarat-syarat
mujtahid diantaranya :
a.
Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum
yang terdapat di dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah
syari’at.
b.
Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang
hukum, baik menutut bahasa maupun syari’at.
c.
Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
d.
Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan
melalui ijma’ ulama.
e.
Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan
serta mengistinbatkan da seerusnta.
f.
Mengetahui bahasa arab berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematika.
g.
Mengetahui ilmu ushul fiqh yang merupakan
pondasi dari ijtihad.
h.
Mengetahui maqashid syari’ah (tujuan syari’at)
secara umum,
Secara umum
ijtihad dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Ijtihad jama’i
2.
Ijtihad fardhi
B.
Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami sebagai penulis menyadari
bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sebagai
penulis memohon maaf jika terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik dalam
penulisan maupun percetakan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif demi untuk menyempurnakan makalah ini dan berikutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat dan kita bisa mengambil hikmah yang terkandung di
dalamya. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin,
Zen, Ushul Fiqih, Yogyakarta : Teras, 2009
Effandi,
Satria, Ushul Fiqh Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2014
Mu’in, Ahmad,
dkk, Ushul fiqh II, Jakarta: Depertemen Agama, 1986
Syafe’i, Rachmat,
Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2015
[1]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung : Pustaka Setia, 2015).,97-98
[2]
A. Mu’in, dkk, Ushul fiqh II (Jakarta:
Depertemen Agama, 1986).,111.
[3] Satria Effandi. Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group,
2014)., 245-246
[4]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung : Pustaka Setia, 2015).,99-100
[5] Ibid.,97
[6] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih,
(Yogyakarta : Teras, 2009).,196
[7]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung : Pustaka Setia, 2015).,107-108
[8]
Satria Effandi. Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group,
2014).,255-256
[9]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung : Pustaka Setia, 2015).,105-106
[10]
Satria Effandi. Ushul Fiqh (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group,
2014).,258
[11]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung : Pustaka Setia, 2015).,104
Komentar
Posting Komentar